Deskripsi Masalah
Uji kebohongan atau poligraf adalah suatu alat guna mendeteksi apakah seseorang itu bohong atau jujur. Alat ini biasanya dipakai di dalam tahapan pengusutan di fase penyidikan, sebab alat ini berguna untuk mengetes para terdakwa apakah ia bersalah atau tidak.
Uji kebohongan mendeteksi adanya kebohongan dari sistem gelombang. bila seseorang bohong maka gelombang akan bergetar cepat. Sebaliknya jika seseorang jujur, maka gelombang tidak bergetar dengan cepat dan tidak terdeteksi oleh uji kebohongan.
Penggunaan lie detector dalam pengungkapan perkara pidana pada tahap penyidikan oleh penyidik pada umumnya didasarkan pada pertimbangan penyidik dalam penggunaannya, karena secara umum lie detector hanya bersifat sebagai alat pembantu dalam penyidikan dimana dalam penggunaannya tidak harus digunakan oleh penyidik, jika hanya penyidik merasa membutuhkan penggunaan lie detector tersebut di dalam penyidikannya. Secara hukum penggunaan lie detector belum diatur di dalam undang-undang yang bersifat khusus, namun penyidik mengacu pada proses penyidikan berdasarkan KUHAP yaitu salah satunya keterangan ahli. Suatu penyidikan dikatakan sah apabila ada minimal 2 alat bukti yang sah. Berdasarkan pasal 184 KUHAP, keterangan ahli merupakan bagian dari alat bukti yang disebutkan di dalam undang-undang tersebut. Namun untuk aturan yang lebih khusus mengatur mengenai penggunaan lie detector tersebut masih belum ada. Sehingga kalau dikatakan lie detector ini berperan sebagai petunjuk dalam mendukung proses penyidikan,karena belum adanya kekuatan hukum yang dapat mengatur penggunaan alat ini.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan, pemeriksaan tersangka dan saksi kasus dugaan pembunuhan Brigadir J menggunakan pendeteksi kebohongan atau lie detector hanya sebatas keterangan ahli. Maka dari itu, hasil pemeriksaan menggunakan poligraf atau lie detector bukan merupakan alat bukti utama untuk diajukan di persidangan. “Lie detector merupakan instrumen yang bisa saja dipakai dalam proses investigasi. Hanya saja membaca hasilnya diperlukan seorang ahli,” kata Eva saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/9/2022). Menurut Eva, hasil pemeriksaan tersangka dan saksi oleh penyidik menggunakan perangkat lie detector atau poligraf mesti diterjemahkan oleh ahli jika diajukan dalam persidangan. Dan jika memang dibutuhkan, terkadang hasil dari Lie Detector ini bisa ditampilkan di persidangan, sehingga banyak dari wartawan dan rekan-rekan media yang merekam baik berupa audio ataupun vidio yang kemudian di upload ke khalayak umum. Dengan ini, para tersangka/terdakwa serta saksi dapat dinilai oleh masyarakat sesuai hasil dari alat poligraf tersebut.
Pertanyaan:
- Apa status Lie Detector dalam konteks fiqih? Dan sejauh mana dampak alat tersebut dalam memberikan pengaruh pada keputusan hakim?
Jawaban:
Statusnya adalah sebagai qorinah yang tidak bisa menetapkan hukum akan tetapi bisa menjadi penguat pertimbangan dan dukungan setelah dianalisa oleh ahlinya.
Referensi | |
الطرق الحكمية – (ج 1 / ص 141) | الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 258) |
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 257) | أصول التحقيق الجنائي في الشريعة الإسلامية محمد راشد العمر إشراف أ.د. وهبة الزحيلي ص ٤٩٢ – ٤٩٥ |
- الطرق الحكمية – (ج 1 / ص 141)
وأما الجمهور كمالك وأحمد وأبي حنيفة فإنهم نظروا إلى القرائن الظاهرة والظن الغالب الملتحق بالقطع في اختصاص كل واحد منهما بما يصلح له ورأوا أن الدعوى تترجح بما هو دون ذلك بكثير كاليد والبراءة والنكول واليمين المردودة والشاهد واليمين والرجل والمرأتين فيثير ذلك ظنا تترجح به الدعوى ومعلوم أن الظن الحاصل ههنا أقوى بمراتب كثيرة من الظن الحاصل بتلك الأشياء وهذا مما لا يمكن جحده ودفعه
- الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 257)
تعريف القرينة القرينة لغة هي العلامة الدالة على شيء مطلوب واصطلاحا هي كل أمارة ظاهرة تقارن شيئا خفيا فتدل عليه يفهم من هذا التعريف أنه لا بد في القرينة من أمرين أن يوجد أمر ظاهر معروف يصلح أساسا للاعتماد عليه أن توجد صلة مؤثرة بين الأمر الظاهر والأمر الخفي – إلى أن قال – أما إذا كانت القرينة غير قطعية ولكنها ظنية أغلبية كالقرائن العرفية أو المستنبطة من وقائع الدعوى وتصرفات الأطراف المتخاصمين فإنها تعد دليلا مرجحا لجانب أحد الخصوم متى اقتنع بها القاضي ولم يوجد دليل سواها أو لم يثبت خلافها بطريق أقوى ولا يحكم عند جمهور الفقهاء بهذه القرائن في الحدود لأنها تدرأ بالشبهات ولا في القصاص إلا في القسامة للاحتياط في موضوع الدماء وإزهاق النفوس ويحكم بها في نطاق المعاملات المالية والأحوال الشخصية عند عدم وجود بينة في إثبات الحقوق الناشئة عنها
- الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 258)
وبمقدار قوة هذه الصلة تنقسم القرائن قسمين: قرائن قوية، وقرائن ضعيفة. وللفقهاء والقضاة دور ملحوظ في استنباط نتائج معينة من القرائن. ومن القرائن الفقهية: اعتبار ما يصلح للرجال من متاع البيت عند اختلاف الزوجين في ملكيته هو للرجل، كالعمامة والسيف، وما يصلح للنساء فقط كالحلي للمرأة بشهادة الظاهر، وملاحظة العرف والعادة (1) . ومن القرائن القضائية: الحكم بالشيء لمن كان في يده، باعتبار أن وضع اليد قرينة على الملك بحسب الظاهر. وإذا كانت القرينة قطعية تبلغ درجة اليقين، مثل الحكم على الشخص بأنه قاتل إذا رئي مدهوشاً ملطخاً بالدم، ومعه سكين بجوار مضرج بدمائه في مكان، فإنها تعد وحدها بينة نهائية كافية للقضاء. أما إذا كانت القرينة غير قطعية، ولكنها ظنية أغلبية، كالقرائن العرفية، أو المستنبطة من وقائع الدعوى وتصرفات الأطراف المتخاصمين، فإنها تعد دليلاً مرجحاً لجانب أحد الخصوم، متى اقتنع بها القاضي، ولم يوجد دليل سواها، أو لم يثبت خلافها بطريق أقوى.